-
-
Notifications
You must be signed in to change notification settings - Fork 0
/
Copy pathawal bab 1 yang dibuang.txt
4 lines (4 loc) · 2.66 KB
/
awal bab 1 yang dibuang.txt
1
2
3
4
Menurut Siswono (dalam Eksa, 2017) kegiatan elite politik dan para tokoh yang sering diliput media massa seringkali mempertontonkan penyimpangan yang dilakukan secara terbuka. Sehingga masyarakat yang menontonnya menjadi rusak sistem nilai dalam bermasyarakat. Apalagi jika ditambah dengan kuatnya arus informasi yang sebagiannya memperlihatkan contoh yang buruk. Menurut dia, beragam kasus korupsi di tanah Air yang melibatkan kepala daerah, anggota legislatif, menteri, pengusaha suskses, dan orang-orang penting lainnya yang tidak mendapatkan sanksi sosial masyarakat semakin memperburuk keadaan.
Bahkan, bentuk kerusakan moral ini sudah tampak di masyarakat kita. Sebagaimana yang dikemukakan oleh survey Never Okay (Adam, 2019) pada tanggal 19 November - 9 Desember 2018 dengan 1.240 responden di 34 provinsi, didapatkan sekitar 94% wanita di Indonesia mengalami pelecehan seksual secara fisik di kantor dengan bentuk pelecehan lisan 76%, pelecehan isyarat 42%, pelecehan tertulis/visual 26%, lingkungan kerja buruk 13%, ditawari imbalan untuk melakukan sesuatu 7%, dan penyerangan seksual 1%. Pelaku dari pelecehan seksual tersebut adalah atasan/rekan senior sebanyak 36%, rekan sebaya sebanyak 34%, rekan dari luar 12%, bawahan 5%, dan orang lain di lokasi kantor sebanyak 2%.
Jika dilihat dari berbagai permasalahan moral yang terjadi di negara ini, maka perlu suatu sistem pendidikan yang tepat sebagai upaya preventif untuk menjaga masyarakat dari kerusakan moral dan etika. Maka, pendidikan berbasis agama hadir sebagai jawaban atas berbagai kerusakan moral yang terjadi di tengah masyarakat. Salah satu bentuk pendidikan agama adalah pendidikan pesantren. Menurut Dhofier (2011) tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang, dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Sehingga dengan kehadiran pendidikan pesantren ini mampu menyadarkan masyarakat akan tanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya semasa di dunia.
Mempelajari ilmu agama tentunya tidak sempurna jika tidak mempelajarinya dari sumbernya ilmu tersebut yaitu kalam Allah yang termaktub di dalam Alquran. Sebagai upaya untuk memahami ilmu-ilmu yang terkandung di dalam Alquran, maka dijadikanlah hafalan Alquran sebagai kurikulum utama di beberapa pondok pesantren, salah satunya adalah SMA Tahfidz Al Izzah yang bertempat di Kelurahan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda. Setelah santri-santri menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz, maka akan lebih mudah untuk memahami intisari dari ayat-ayat yang terdapat di dalam Alquran, kemudian akan lebih mudah lagi mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.